Ida Fajar Priyanto baru saya kenal sejak di bangku perkuliahan, namun sosoknya
menarik saya untuk mengetahui latar belakang seseorang yang saya anggap cukup
eksentrik dibanding dengan dosen-dosen lain. Untuk mengetahui jejak pendidikan maupun karir bapak satu anak ini
cukup mudah. Ya....karna beliau cukup eksis di media sosial seperti facebook,
twitter, Linkedin, maupun media publikasi online seperti academia.edu,
Microsoft search, dan google schooler. Namun karena rasa penasaran yang belum terpenuhi saya mencoba mengirim email
untuk bertanya tentang pengalaman Beliau bisa hilir mudik keliling dunia
mengabdikan dirinya untuk dunia perpustakaan dan informasi terlebih membawa
nama Indonesia yang masih merangkak dalam pengembangan perpustakaan. Prof Ida
(panggilan dari mahasiswanya) sangat
cepat dalam merespon email saya, dan tidak pelit menjawab setiap pertanyaan
yang saya ajukan.
Ternyata
Prof. Ida dulu merupakan lulusan S1 sastra Inggris UGM, dimana ketika lulus
Beliau ditawarkan beasiswa chevening
award dari Inggris dengan jurusan information
studies. Dengan motivasi ingin merasakan kehidupan di Inggris akhirnya
Beliau berangkat bahkan bisa menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 50 minggu
untuk S2. Mantan kepala Perpustakaan
Universitas Gadjah Mada (UGM) mengecap pendidikan S2 nya dalam bidang information studies di Loughborough
University of Technology, Inggris. Setelah menjabat sebagai kepala perpustakaan
selama 10 tahun lebih yakni dari April 2002 – September 2012,
Beliau mendapat beasiswa Fulbright
Presidential untuk program doktor bidang interdisipliner Information Science. Jurusan Information Science adalah ilmu
interdisipliner di bawah iSchool dan UNT merupakan universitas terbaik ke-enam
dalam bidang tersebut. Beliau meraih
gelar doctor paling awal dari teman seangkatannya di University of North Texas
terhitung Augustus 2012 – Juli 2015. Kesempatan belajar dan berbicara tentang
pengembangan perpustakaan sudah menjadi makanan sehari-hari baik dalam negeri
maupuan luar negeri seperti Korea Selatan, Swedia, Singapore, Thailand,
Johannesburg, Durban, San Diego, New York, Maryland, Seattle, Koln dan Berlin,
Cina dsb.
Dari
pengalaman Beliau menarik bagi saya untuk menanyakan tentang prediksi
kepustakawanan Indonesia dalam satu dasa warsa ke depan, dan berikut jawaban
beliau:
“ Tidak akan
terjadi banyak perubahan besar dalam dunia kepustakawanan Indonesia kurun waktu
10 tahun ke depan terutama dari sisi praktisi. Hal ini terjadi karena belum ada
perubahan besar yang terjadi pada pendidikan ilmu perpustakaan di Indonesia dan
banyak konsep yang masih terus bergulir dengan paradigm yang ada sekarang.
Masih akan banyak perpustakaan yang berkutat dengan kegiatan terkait dengan
koleksi. Dalam hal ini, pemikiran tentang katalog dan akses informasi ke
perpustakaan tidak akan banyak berubah. Demikian halnya dalam layanan
perpustakaan yang akan masih mengandalkan dasar-dasar perpustakaan masa lalu.
Namun demikian, penambahan fasilitas perpustakaan akan terus meningkat.
Beberapa perpustakaan akan meningkatkan fasilitas teknologi informasi seperti
penggunaan layar besar untuk belajar bersama, penyediaan fasilitas belajar
berkelompok, dan penyediaan fasilitas belajar mandiri. Di perpustakaan
perguruan tinggi, peningkatan koleksi digital akan terus berjalan seiring
dengan peningkatan anggaran dari perguruan tingginya. Sementara kemungkinan
besar perpustakaan sekolah belum ada perubahan signifikan, terutama dalam hal
fasilitas perpustakaan, anggaran, dan sinergi antara pengajaran dan
perpustakaan.
Dalam hal
pendidikan pustakawan, ada beberapa hal yang perlu dicatat: Akan ada tiga
versi doktor dalam bidang perpustakaan dan informasi, yaitu (1) mereka yang
benar-benar mengambil program doktor dalam bidang perpustakaan dan/atau
informasi dan (2) mereka yang mengambil program non-perpustakaan dan informasi
(bidang lain) dengan konsentrasi atau disertasi tentang perpustakaan, dan (3)
mereka yang mengambil pendidikan program doktor perpustakaan namun sebagai
konsentrasi dari bidang lain. Ketiga macam doktor ini menghasilkan konsep
kepustakawanan dengan perspektif semacam multidisiplin: Mempelajari satu
hal dengan kacamata yang berbeda-beda. Hal ini juga akan menjadikan warna
pendidikan ilmu perpustakaan dan/atau informasi di Indonesia menjadi berbeda
dengan pendidikan perpustakaan dan/atau informasi di negara-negara
lain.
Dalam satu
dasa warsa ke depan juga akan lahir sains informasi yang akan menambah wacana
pendidikan Indonesia yang menarik. Pada waktunya nanti, ada pustakawan yang
mengambil program master/magister sains informasi dan juga perpustakaan and
informasi. Perlu diingat juga bahwa saat ini, program S2 ilmu perpustakaan
dan/atau informasi di INdonesia pun juga berbeda antara satu perguruan tinggi
dengan perguruan tinggi lainnya. Perspektif ini terjadi karena sebagian besar
program S2 masih berupa konsentrasi atau minat dari sebuah program studi yang
berbeda-beda: ada yang di bawah prodi computer (teknologi informasi), ada yang
di bawah kajian media dan budaya, dan ada yang di bawah program studi kajian
islam.Perbedaan ini juga menghasilkan lulusan yang memiliki cara pandang
keilmuan secara berbeda.
Namun demikian
pada sisi undergraduate (S1) tidak banyak perubahan atau inovasi yang berarti.
Pendidikan ilmu perpustakaan ataupun perpustakaan dan informasi masih akan
stabil dengan beberapa peningkatan pada sisi konten atau muatan mata kuliah.
Dalam
konteks nasional, tidak akan banyak perubahan yang berarti, terutama pada tahun
2016 sampai 2017 ke depan. Kebijakan yang saat ini ada akan ada review tetapi
kemungkinan besar akan terus dilanjutkan. IPI akan terus berjalan bersamaan
dengan asosiasi kepustakawanan yang khusus seperti asosiasi perpustakaan
perguranu tinggi atau asosiasi perpustakaan perguruan tinggi khusus. Demikian
halnya dengan asosiasi kepustakawanan lainnya.”
Sumber gambar : https://www.linkedin.com/in/ida-fajar-priyanto-04535711
0 comments:
Post a Comment